damai..

Engkau yang letih mencari,
akan akhirnya menemukan dirimu tak lagi menunduk mencari.

Engkau akan menengadah ke langit,
karena langitlah tempat berkumpulnya wajah yang mencari.

Engkau meminta, telah lama meminta;
tetapi engkau belum menerima pemberian yang kau minta.

Engkau mencari, telah lama mencari;
tetapi engkau belum menemukan yang kau cari.

Dan dengan waktu yang berjalan lamban
dan berat dalam rasa mu,
semua yang kau minta dan semua yang kau cari –
mendidih lambat-lambat di dalam panasnya hatimu
yang mulai beku,
dan kegalauan mu menyeruak keluar
dari kepompong ketidak-sabarannya
untuk menjadi kegelisahan utama mu.

Kegelisahan utama mu adalah sebuah pertanyaan;
Mengapakah sulit bagi mu untuk merasa damai?
Dalam kegelisahan mu, engkau bertanya-tanya –
jika hidup ini sulit,
mengapakah ada orang yang hidupnya mudah?
Jika hidup ini ujian,
mengapakah ada orang yang mudah lulus?
Jika hidup ini sementara,
mengapakah kegelisahan dan penantian mu lama?
Jika hidup ini hanya mampir untuk minum,
mengapakah air tidak mendamaikan mu?
Dan setelah minum,
ke mana kah engkau akan berangkat?
Karena, jangankan sampai …,
merangkak pun engkau lambat.

Apakah engkau penting?
Apakah akan ada bedanya –
engkau ada atau tidak pernah ada?

Jika engkau penting,
mengapakah kemudahan tidak berpihak kepada mu
dalam upaya mu untuk menjadi pribadi yang penting?
Jika engkau diperhatikan,
mengapakah engkau sering harus berlaku yang
memalukan untuk menarik perhatian?
Jika ada tujuan yang penting bagi kehadiran mu
dalam kehidupan ini,
mengapakah sulit bagimu
menemukan arah yang menyemangati?

Dalam tengadah wajah mu ke langit,
hatimu menunduk sedih,
dan dengan getar gagu kelopak mata mu
yang menggantikan gerak bibir mu
dalam menyuarakan pedih hatimu,
engkau bertanya lambat-lambat …

Jika aku dicintai,
mengapakah aku demikian sedih?

Tidakkah aku pantas bagi sedikit perhatian?
Demikian kurang kah yang kurang pada ku,
sehingga aku harus memamerkan kekurangan ku,
untuk mengundang kasih sayang?

Masih kurang letih kah aku dalam penantian ku,
sehingga aku masih diminta menunggu?

Tidakkah aku berhak bagi sedikit kasih sayang?
Demikian terpinggirkan kah aku,
sehingga aku tidak terhitung?
Demikian salah kah aku,
sehingga aku pantas bagi pelupaan?

Lalu, siapa kah yang menyayangi ku?
Siapa kah yang akan memeluk ku?

Tidakkah mereka merasakan
pahitnya kesendirian ku yang senyap ini?

Aku tidak tahu mengapa aku menangis,
tetapi ke mana lagi aku bersandar
jika bukan kepada tangis ku?

Oh, tangan yang ramah …
Seandainya ini bukan hanya rasa yang kurindukan.
Lembutnya rasa telapak tangan
yang penuh kasih
menyentuh pipi ku yang yatim.
Bibir ku akan mengejarnya,
seperti mulut bayi yang haus.
Kudekap tangan itu,
kuciumi harum keramahannya.
Dan nafas ku bertanga-tangga
melalui bibir yang tak mampu terkatup –
meratapkan rasa syukur ke langit
untuk dia yang menemukan ku
dalam kesedihan kesendirian ku.

Seandainya ada orang di luar sana
yang hatinya penyayang.

Seandainya dia menemukan ku.
Dia pasti akan duduk dekat-dekat bersama ku.
Senyumnya yang ramah
mengijinkan aku untuk menangis haru.
Wajahnya yang mengerti,
mengubah pedih tangis ku
menjadi sejuknya sentuhan sutra
yang ditenun dari wangi melati.
Sesengguk tangis ku
menumpahkan semua sedih ku,
berserakan di antara kaki ku yang bisu tertidur.

Melolong aku dalam tangis ku,
bukan lagi karena kepedihan,
tetapi karena aku menikmati
bahwa tangisan orang yang menemukan kasih sayang
adalah tangisan yang berbahagia.

Aah … betapa tipisnya pemisah
antara tangis yang melukai dan tangis yang mengobati.

Aku baru hanya membayangkan kasih sayang,
tetapi pengertian itu telah mulai mewajarkan pedih ku,
karena mungkin saja
tangan yang ramah itu
sedang lebih bersedih daripada aku;

tetapi ini yang kuyakini sekarang,
jika dia bisa menyebabkan pengertian baik ku
dan menyebabkan aku menemukan pengobatan
dalam diriku sendiri untuk kepedihan ku,
dia tidak mungkin dibiarkan lama termangu
di dalam kepedihannya sendiri.

Tetapi, untuk pribadi seperti itu,
bahkan mungkin kepedihannya adalah kebahagiaannya,
karena dengan pedih hatinya –
dia mengerti betapa hati yang sedang bersedih –
membutuhkan uluran tangan yang ramah.

Oh …, sekarang aku mengerti …
Baru membayangkan saja –
bahwa ada tangan yang mengulur ramah kepada ku,
aku telah terangkat dari kesedihan ku,
tanpa betul-betul diangkat.

Aku lebih damai.
Ternyata,
aku bisa tetap merasa damai di atas semua kekurangan,
kelemahan, dan keterpinggiran ku.

Sekarang aku mengerti
bahwa tugas utama ku bukan untuk tidak kekurangan,
bukan untuk tidak lemah, dan bukan untuk diketengahkan;
tugas pertama ku
adalah untuk menjadi pribadi yang damai.

Damai jiwa ku adalah kekayaan ku yang pertama.
Jiwa yang damai adalah kekayaan yang utuh,
yang menjadi sandaran bagi semua kekayaan.

Jika jiwa ku damai,
aku tidak harus memenuhi semua aturan kekayaan
yang dipantaskan oleh orang lain untuk diri mereka.

Dengan jiwa yang damai,
aku menjadi cukup untuk diri ku sendiri,
dan apa pun yang kulakukan setelahnya
adalah untuk kebaikan orang lain.

Sekarang aku tersenyum.
Sekarang aku tahu,
bahwa kesedihan hatiku adalah jalan dari pinggir
untuk menduga-duga arah menuju kebahagiaan ku.

Dalam akal ku yang sekarang terbebas dari mimpi buruknya,
aku melihat bahwa pengertian ku
adalah jalan besar menuju kebahagiaan ku.

Dan dalam pengertian ku yang lebih menerima,
aku tahu bahwa keterbukaan hati
adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.

Sekarang aku mengetahui.
Tidak ada kesedihan yang akan berlama-lama
melemahkan ku.
Tidak ada kemarahan yang akan berliar-liar
mempermalukan diri ku.
Dan tidak ada kesombongan yang akan berpalsu-palsu
merendahkan ku.

Sekarang aku tahu.
Hanya orang yang tidak sepenuhnya tahu
yang masih membutuhkan keyakinan.

Dia yang tahu tidak perlu keyakinan,
apalagi diyakinkan.

Dia yang tahu – tahu.
Pengetahuan itu telah cukup baginya.
Dia yang tahu bahwa Tuhan itu ada, … tahu.
Jangan lagi berupaya meyakinkan orang yang tahu.
Tidak ada keyakinan yang lebih kuat
daripada pengetahuan.

Dia yang berpendidikan
tetapi masih membutuhkan peyakinan untuk yakin –
adalah orang yang belum berpengetahuan.

Aku sekarang tahu.
Maka kuat dan damai lah aku.
…….
Entah apa yang telah kau sebabkan pada ku,
tetapi sekarang
pertanyaan yang menjadi kegelisahan utama ku,
tidak lagi menyayat sepedih dulu.

Mengapakah sulit bagi ku untuk merasa damai?
…….
Aku sekarang menjadi heran,
mengapa dulu aku menangis dalam pertanyaan itu?

Ku tak tahu apa yang kau lakukan,
tetapi pembicaraan dengan mu ini
telah memindahkan ku dari lahan rintihan
ke taman pembahagiaan.

Aku berhutang kepada mu.
Aku ingin membayar mu,
tetapi bukan itu yang pantas bagi bayaran mu.

Engkau tak membutuhkan terima kasih ku,
karena engkau menemukan kebahagiaan mu
dalam kebaikan hidup ku.
Maka bayaran dari ku bukanlah bayaran bagi mu.
Dengannya
aku tidak akan pernah bisa membayar mu.

Tetapi aku terlalu berhutang.
Maka aku berjanji kepada Beliau
yang mempertemukan kita,
bahwa aku akan menjadikan diri ku bernilai
agar uluran tangan ku
mendamaikan saudara ku yang hatinya piatu
dalam kesedihannya.

Aku akan menjadikan diri ku pelaku,
pengundang, dan penyemangat
bagi kebaikan saudara-saudara ku.

Aku, pribadi yang damai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pentingnya memakai serum rambut rontok!

Review Gio Dental Care Jogja Tambal Gigi Depan

Cerita Nikah - Biaya Nikah Hemat di Masa Pandemi Jogja